BAB I
PENDAHULUAN
11. PERKEMBANGAN
BARU DUNIA SASTRA INDONESIA
Dekade 1970 merupakan masa perkembangan baru
dalam kesusastraan Indonesia yang membawa perubahan penting ditengah kehidupan
masyarakat. Dekade 1970-an juga membuka cakrawala baru bagi pengarang dan
pembaca sastra dengan semakin banyaknya masyarakat pembaca sastra terutama kaum
muda dan ibu-ibu muda yang status sosial ekonominya relative mapan.
Perkembangan itu ditandai antara lain dengan banyaknya karya sastra baik puisi,
cerpen, novel, maupun drama yang diterbitkan.
Karya sastra dengan berbagai genrenya adalah
anak zamannya, yang melukis corak, cita-cita, aspirasi, dan perilaku
masyarakatnya, sesuai dengan hakikat dan eksistensi karya sastra yang merupakan
interpretasi atas kehidupan (Hudson, 1979: 132). Melalui refleksi, kontemplasi,
dengan mengerahkan daya kreasi dan imajinasinya, kehidupan sosial budaya yang
berkembang dan dihadapi sastrawan itu diekspresikannya dalam bentuk karya baik
puisi, fiksi, maupun drama sesuai dengan latar belakang dan ideologinya.
Diantara tiga genre karya sastra yakni puisi,
fiksi, dan drama, karya fiksi novellah yang paling dominan. Hal itu terbukti
dengan banyaknya novel yang terbit dan beredar serta menjadi konsumsi
masyarakat modern Indonesia yang menggemari sastra terutama sejak dekade
1970-an. Oleh karena itu, menurut Teeuw (989: 169), novel dapat dikatakan
sebagai genre sastra yang merajai fiksi Indonesia mutakhir.
Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang
merupakan hasil kreasi pengarang setelah merefleksi lingkungan sosial
kehidupannya. Dunia dalam karya sastra dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan
lazimnya melalui bahasa. Apa pun yang dipaparkan pengarang dalam karyanya
kemudian ditafsirkan oleh pembaca, berkaitan dengan bahasa. Novel merupakan
pengolahan masalah-masalah sosial ke-masyarakat oleh kaum terpelajar Indonesia
sejak tahun 1920-an yang sangat digemari oleh sastrawan (Hardjan, 1989:71).
- SASTRA SEBAGAI MEDIA PENGEMBANGAN BUDAYA NASIONAL
Karya sastra merupakan salah satu alternatif
dalam rangka pembangunan kepribadian dan budaya masyarakat yang berkaitan erat
dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat (Kuntowijoyo, 1987:15).
Mengkaji karya sastra akan membantu kita
menangkap makna yang terkandung di dalam pengalaman-pengalaman pengarang yang
disampaikan melalui para tokoh imajinatifnya, dan memberikan cara-cara memahami
segenap jenis kegiatan sosial kemasyarakatan, serta maksud yang terkandung did
lam kegiatan-kegiatan tersenut, baik kegiatan masyarakat kita sendiri maupun
masyarakat lainnya.
Guna memahami
sifat-sifat dan kompetensi manusia diperlukan suatu cara berpikir yang lebih
jauh jangkauannya ketimbang yang dimungkinkan oleh metode eksperimental dan
analitiz yang lazim digunakan dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosia.
- KELUARGA PERMANA SEBAGAI NOVEL FENOMENAL
Novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H
merupakan salah satu novel yang fenomental sekaligus controversial. Fenomenal
karena KP mengupas masalah-masalah
yang khas Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga kini yakni hubungan
antarumat beragama.
Berdasarkan realitas itu, maka KP ddapat dikatakan sebagai novel
Indonesia mutakhir yang fenomenal yang kehadirannya mengundang kontroversi
pendapat di kalangan pengamat saastra dan pengamat sosial.
Novel
ini mampu mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia modern dan kesadaran
pengarangnya mengenai masalah yang dihadapinya, dalam hal ini masalah sosial
keagamaan.
KP
merupakan karya sastra yang menampilkan kehidupan keagamaan yang luas, yang
penting bagi umat beragama apapun, meskipun Ramadhan adalah muslim taat. Masalh
kehidupan beragama khususnya kerukunan antarumat beragama memang merupkan
masalah yang cukup kusial.
- PERMASALAHAN
Dalam konteks ilmu sastra, penelitian
merupakan suatu proses penajaman tentang masalah-masalah yang berhubungan
dengan system sastra. Oleh karna itu, sebuah permasalahan yang dikemukakan di
dalam penelitian sastra lahir sebagai akibat kepekaan tertentu dari seorang
penikmat dan pengamat sastra terhadap gejala yang beraspek sastra
(Chamamah-Soratno,1990:5).
Permasalah yang akan dikaji dalam penelitian
ini adalah: (1) Bagaimana wujud bangunan struktur novel Keluarga Peramana karya Ramadhan K.H. ? (2) Bagaiman makna dimensi
sosial keagamaan dalam novel Keluarga
Permana karya Ramadhan K.H?
- TUJUAN DAN MANFAAT KAJIAN
Sesuai
dengnan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah (1)
Mendeskripsikan wujud bangunan struktur novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H? (2) Mengungkapka hubungan
antarumat beragama hubungan anatarumat beragama sebagai geala social dan
konflik sosial keagamaan yang ditimbulkannya dalam Keluarga permana. (3) Memaparkan Keluarga Permana dalam memperbincangkan aspek kehidupan yang rawan
dan peka itu.
- TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
·
Tinjauan Pustaka
Pada
bagian ini dikemukakan beberapa pustaka atau tulisan yang mengkaji novel KP.
Hal ini merupakan upaya untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini.
·
Landasan Teori
Dalam
telaah sastra modern, hakikat karya sastra yang paling mendasar adalah tindakan
komunikasi memegang peran penting. Oleh karna itu, faktor-faktor yang memainkan
peran penting dalam komunikasi harus diberikan tempat selayaknya, yakni
sastrawan sebagian itu sendiri (Teeuw,1982:18). Pesan itu berupa tanda, sign,
karena itu hubungan tanda dengan yang ditandai harus diperhatikan.
a. Novel
Indonesia Mutakhir
Novel
Indonesia berkembang pesat sejak dekade 1970-an karena didukung oleh beberapa
factor yakni: (1) adanya meacenas sastra berhubungan dengan makin stabilnya
keadaan ekonomi Indonesia, (2) kebebasan mencipta sastra (bersastra) yang
relative terselenggara sejak tahun 1967, (3) dukungan pers yang menyediakan
rubric sastra dan budaya dalam mejalah dan surat kabar, dan (4) berkembangnya
konsumen sastra terutama di kalangan muda (Sumardjo, 1982: 15-16; lihat Toda,
1987: 18).
b. Novel:
Struktur dan Unsur-unsurnya
Novel
merupakan salah satu genre sastra di samping cerita pendek, puisi dan drama.
Novel adalah cerita atau rekaan (fiction), disebut juga teks naratif (narrative
teks) atau wacana naratif (narrative discourse). Fiksi berarti cerita rekaan (khayalan),
yang merupakancerita naratif yang isinyatidak menyaran pada kebenaran sejarah
(Abrams,1981:61), atau tidak terjadi sunguh-sunguh dalam dunia nyata.
Peristiwa, tkoh, dan tempat yang ada dalam fiksi adalah peristiwa, tokoh, dan
tempat yang imajinatif.
c. Teori
Strukturalisme
Menurut
Piaget (dalam Zaimar, 1991: 20), strukturalisme adlah “semua doktrin atau
metode yang dengan suatu tahap abstraksi tertentu menganggap objek studinya
bukan hanaya sekedar sekumpulan unsure yang berhubungan satu sama lain,
sehingga yang satu tergantung pada yang lain dan hanya dapat didefinisikan
dalam dan oleh hubungan perpadanan dan pertentangan dengan unsur-unsur lainnya
dalam suatu keseluruhan.
d. Teori
Semiotik
Tujuan
analisis karya sastra adlah mengungkapkan maknanya. Kerena novel merupakan
struktur tanda-tanda yang bermakna sesuai dengan konvensi ketandaan, maka
analisis struktur tidak dilepaskan dari analisis semiotik. Culler (1981: 5)
menegaskan bahwa ilmu sastra yang sejati harus bersifat semiotik, artinya menganggap
sastra sebagai sistem tanda. Pedekatan semiotik yang dimaksudkan di sini
berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya seni, merupakan suatu
sistem tanda yang terjalain secara bulat atau utuh.
Dalam
mengerjakan teori semiotiknya, berlaku pula pada tanda-tanda linguistik, dan
bukan sebaliknya. Selanjutny, Peirce (dalam Abrams, 1981: 170) membedakan tiga
kelompok tanda. Ketiga tanda itu yakni: (1) ikon adalah suatu tanda yang
menggunakan kesamaan dengan apa yang dimaksudkannya, (2) indeks adalah suatu
tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, (3) symbol
adalah hubungan antara hal atau sesuatu penanda dengan item yang ditandainya
yan sudah menjadi konvensi masyarakat.
e. Teori
Interteks
Teori
Interteks memandang setiap teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang
teks-teks lain, dalam arti bahwa penciptaan sastra tidak dapat dilakukan tanpa
adanya teks-teks lain sebagaiacuan. Hubungan Intertekstualitas adalah hubungan
antarkarya dan juga penandaan partisipasinya dalam lingkup diskudif budaya.
Janus
(1985: 108-117) merumuskan hubungan intertekstualitas dalam beberapa wujud: (1)
Teks yang dimasukkan itu mungkin teks yang kongkret atau mungkin teks yang
abstrak. (2) Kehadiran suatu teks tertentu dalam teks lain secara fisikal, (3)
penggunaan nama tokoh yang sama, (4) Kehadiran unsur dari suatu teks dalam teks
lain. (5) Kehadiran kebiasaan berbahasa tertentu dalam suatu teks. (6) Yng
hadir mungkin teks kata-kata, yaitu kata atau kata-kata atau palaing tidak
ambigu maknanya.
f. Kode
Bahasa, Sastra, dan Budaya
Sastra dan bahasa keduanya
merupakan sistem tanda, tetapi terdapat perbedaan. Lotman menyebut bahasa
sebagai tanda primer yang membentuk model dunia bagi pemakainya. Selain kode
bahasa diperlukan pula kode sastra dank ode budaya. Sebagai karya sastra, novel
memiliki konvensi sastra, bukan sebagai sistem yang baku dan ketat, melainkan
system yang luwes dan penuh dinamika.
- METODE PENELITIAN
Penelitian
kualitatif deskriptif bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi
kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat
sifat-sifat suatu hal, keadaan, fenomena dan tidak terbatas pada pengumpulan
data melainkan meliputi analisis dan interpretasi data tersebut (Sutopo, 2006:
127). Analisisnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam
mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya menurut apa adanya.
Data
penelitian ini adalah data kualitatif yakni data lunak berupa kata, frase,
kalimat dan wacana dalam novel Keluarga Pratama.
Adapun data sumber data penelitian ini adalah pustaka yang terdiri atas sumber
data primer dan sekunder. Sumber data primernya adalah novel Keluarga Pratama karya Ramadhan K.H dan
sekundernya adalah pustaka lain berupa berbagai tulisan yang berkaitan dengan
objek penelitian yakni dimeensi sosial keagamaan dalam novel Keluarga Pratama baik berupa buku, hasil
penelitian, tesis, dan disertai, makalah maupun artikel pada jurnal ilmiah.
BAB
II
PENGARANG,
LATAR SOSIAL BUDAYA,
DAN
KARYANYA
- RAMADHAN K.H., SASTRAWAN, DAN KESADARAN SOSIAL
Sastra yang besar selalu
merupakan suatu tindakan historis, karena mengekspresikan suatu imaji yang global mengenai
manusia dan alam semesta (Goldman, 1981: 41). Dengan demikian, sastrawan
sebagai individu harus diletakkan sebagai bagian dari kelompok social tertentu
yang merupakan elemen yang paling fundamental dalam struktur masyarakat secara
keseluruhan. KP dapat dikatakan
sebagai karya sastra yang mengandung permasalahan keagamaan yang problematic,
yang tidak saja dapat berbicara dan dipahami oleh pembaca yang seagama dengan
pengarangnya, tetapi juga pembaca diluar agama pengarang. Dengan kata lain KP bersifat universal. Artinya, KP dapat digolongkan sebagai sastra yang
mengemukakan masalah keagamaan, yang mengandung unsure keagamaan sebagai
problematika hidup, atau permasalahan penghayatan agama yang mempengaruhi
konflik batin tokoh-tokohnya.
Ramadhan Karta Hajimaja nama
lengkap pengarang ini, tetapi ia lebih dikenal dengan Ramadhan K.H dalam dunia
sastra Indonesia. Sastrawan yang lahir pada tanggal 16 Maret 1927 di Bandung
dan besar di Cianjur, tanah Priangan Jawa Barat ini (Sumardjo, 1991: 46).
Ramadhan pada mulanya suka menulis. Dengan dorongan dan bantuan kakaknya,
sastrawan Aoh Karta Hardimeja, mulailah ia menulis karya sastra. Melalui
kakaknya pula, Ramadhan mengenal akrab para pengarang dan seniman Indonesia
terkenal seperti H.B. Jassin, pelukis Affandi dan sejumlah seniman yang lain.
- LATAR SOSIAL BUDAYA RAMADHAN K.H.
Kehadiran KP sebagai karya satra yeng mengemukakan permasalahan keagamaan
tidak terlepas dari struktur social (lihat Goldman, 1981: 41) masyarakat sunda
khususnya dan Indonesia umumnya, yang didalamnya terjadi interaksi sosial
budaya sebagai bagian dari proses pengaruh–mempengaruhi. Dengan demikian tanpa
ada kreasi manusia kebudayaan tidak akan terwujud. Dalam kehidupan masyarakat
nilai-nilai budaya itu merupakan sistem yang menjadi pedoman dan motivasi moral
bagi warga masyarakatnya dalam pandangan dan sikap hidupnya.
Hubungan erat antara masyarakat
Sunda dengan masyarakat Jawa dalam sejarahnya yang telah berusia ratusan tahun
karena keduanya berada dalam satu pulau Jawa, telah memungkinkan adanya banyak
persamaan budaya antara masyarakat Sunda dengan Jawa (Rosidi, 1985: 2).
BAB
III
STRUKTUR
BANGUNAN NOVEL
KELUARGA
PERMANA
1. STRUKTUR
NARATIF
Didalam struktur naratif terdapat
dua hal yakni cerita dan wacana. Struktur naratif merupakan penanda dari
peristiwa, penokohan dan latar yang terdapat di dalam cerita dan petanda dari
unsur-unsur di dalam ekspresi naratif yang terdapat di dalam wacana. Dengan
demikian objek estetik naratif ialah cerita dari artikulasi wacana (Chatman,
1978: 15-42). Tujuan analisis struktur naratif denagn demikian adalah untuk
memperoleh susunan teks baik susunan wacana maupun susunan cerita. Untuk itu
analisis sekuen perlu dilakukan guna mengungkapkan struktur naratif.
Struktur naratif berusaha
mengemukakan kembali teks KP dengan
menampilkan urutan sekuen. Rangkaian semantic dalam teks dapat dibagi dalam
beberapa sekuen. Setiap bagian ujaran yang membentuk suatu satuan makna
membentuk satu sekuen. Satu sekuen itu berarti sangat kompleks. Untuk itu perlu
diperhatikan criteria sekuen yang dikemukakan Schmitt dan A. Viala (dalam
Zaimar, 1991: 33) sebagai berikut:
1.
Sekuen haruslah
terpusat pada satu titik perhatian.
2.
Sekuen harus
mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheraen.
a)
Urutan
Tekstual
Sebagai langkah awal dalam
analisis struktur naratif, akan dianalisis tekstual satuan cerita. Hal ini
dilakukan mengingatkan bahwa dalam karya informasi yang sama akan berubah
artinya, jika urutan dalam ujaran berubah. Oleh karna itu, dalam bagian ini KP cetakan II 1986 (dipilih karena
cetakan II hampir sama dengan cetakan I, hanya saja terdapat perbaikan pada
bagian yang salah cetak) akan dipilah-pilah guna memperoleh urutan satuan
cerita.
Teks KP terdiri atas 24 bab, dan tiap bab tidak diberi judul. Urutan
tekstual ini menunjukkan pemilihan teks dalam sekuen yang ditandai dengan angka
arab. Kadang-kadang sekuen masih dibagi lagi dalam satuan yang lebih kecil.
Karna itu angka tandanya menjadi dua, tiga atau lebih.
b)
Urutan
Kronologis
Dapat dilihat teks KP terdiri atas 24 bab. Bab satu dengan
yang lain tidak diberi judul melainkan masing-masing diberi angka. Urutan
wacana itu, dalam kaitannya dengan urutan kronologis memisahkan antara waktu
masa kini dengan masa lalu. Urutan kronologis diperoleh setelah ditentukan
sekuen. Serangkaian sekuen itu menunjukkan bahwa urutan wacana mendukung
penentuan urutan kronologis, keduanya sangan berkaitan erat.
Berdasarkan urutan kronologis
wacana dapat ditemukan urutan logis. Urutan logis merupakan hubungan
antarsekuen yang didasarkan pada peristiwa kausalitas atau seabab akibat.
Urutan logis ini disusun berdasarkan urutan kronologis dengan memperhatikan
sekuen-sekuennya. Analisis urutan logis dilakukan untuk mengetahui hubungan
antarsekuen, yang menjadi dasar struktur naratif KP.
2. PENOKOHAN
Analisis tokoh dapat dilakukan
dari nama tokoh. Penamaan tokoh menurut Wallek dan Warren (1989: 287) merupakan
cara paling sederhana untuk menampilkan tokoh. Penamaan tokoh disesuaikan
dengan kepribadiannya yang berkaitan dengan psikososial dan sikapnya yang
mengacu pada perbuatan atau tingkah lakunya dalam cerita. Penamaan tokoh dapat
juga berupa symbol, profesi dan pekerjaannya. Nama tokoh dapat membayangkan
tentang wajah dan perangainya. Dengan demikian dalam penafsiran tokoh, nama
mempunyai fungsi penting. Karena itu nama tokoh akan dibicarakan bersama-sama
dalam analisis penokohan.
Penokohan secara wajar dapat
diterima jika dapat dipertanggungjawabkan dari sudut psikologis, fisiologis,
dan sosiologis. Ketiga sudut it masih mempunyai berbagai aspek (Lubis, dalam
Hutagalung, 1968: 60). Termasuk psikologis antara lain cita-cita, ambisi,
kekecewaan, kecakapan, temperamen, dan sebagainya. Aspek yang termasuk dalam
fisiologis misalnya jenis kelamin, tampang, kondisi tubuh, dan lain-lain. Sudut
sosiologis terdiri atas misalnya lingkungan, pangkat, status social, agama,
kebangsaan, dan sebagainya. Dalam KP
penghadiran tokoh-tokoh cerita dilakukan dengan cara kombinasi analitik dan
dramtik atau langsung dan tidak langsung dengan menampilkan cirri-ciri
fisiologis, psikologis, dan sosiologis.
3. LATAR
Moody (1972: 48) mengaraatikan
latar sebagai tempat, sejarah, social, kadang-kadang pengalaman politik atau
latar belakang cerita itu terjadi. Menurut Parkamin dan Bari (1973: 62) latar
adalah penempatan mengenai waktu dan tempat termasuk lingkungannya. Yang
dimaksud lingkungan meliputi antara lain kebiasaan, adat istiadat, latar alam
atau keadaan sekitar. Latar merupakan lingkungan, dan lingkungan dapat
dipandang berfungsi sebagai metonimia, atau maetafora. Dalam cerita modern,
kota-kota besar merupakan latar tokoh-tokohnya (Wallek dan Warren, 1978: 291).
Latar tidak dapat terlepas dari
tokoh. Tindakan tokoh selalu berkaitan dengan latar tertentu, yang bagi Chatman
(1978: 141-145) terdiri atas latar internal dan latar eksternal. Latar internal
antara lain berupa perasaan hati sedih, gembira dan lain-lain. Latar eksternal
meliputi alam, cuaca, tempat-tempat tertentu dan sebagainya.
Sejalan dengan fungsi latar
tersebut, aspek ruang, waktu dan social merupakan elemen latar cerita yang
berperan dalam menghidupkan gambaran pada imajinasi pembaca. Tokoh-tokoh pada
berbagai peristiwa yang dialaminya dalam cerita diimajinasikan pembaca dalam
kerangka aspek ruang, waktu dan sosial.
1.
Unsur Ruang
Unsur ruang dapat ditangkap
pembaca melalui tiga cara, yakni: (1) pemakaian kata-kata yang mewujudkan sifat
atau keadaan yang disebut, (2) kata-kata yang telah mempunyai pengertian
tersendiri yang sudah baku, dan (3) pemakaian perbandingan. Ketiga cara itu
terbentuk dalam wacana yang kecil. Pada wacana yang lebih besar unsure ruang
dapat dilihat melalui (1) penunjukan arah suatu tempat tertentu, (2) dialog
yang melukiskan perilaku tokoh, dan (3) deskripsi langsung oleh pengarang
(Chatman, 1978: 101-103).
2.
Unsur Waktu
Dalam novel, aspek waktu pada
umumnya meliputi lama berlangsungnya derita dan penyebutan waktu secara
eksplisit tertulis atau implisit dalam cerita. Berbeda dengan latar tempat,
pada KP latar waktu tidak dilukiskan
secara eksplisit mengenai kapan terjadinya peristiwa yang dialami
tokoh-tokohnya. Yang pasti, secara implicit latar waktu dilukiskan dalam KP demikian.
Secara garis besar ada dua
periode waktu dalam KP yakni masa
kini dan masa lalu. Latar waktu masa kini dalam KP dimulai sejak awal cerita yakni ketika ida meninggal dunia
hingga jenazahnya dimakamkan dan Permana kehilangan kewarasan. Selebihnya
adalah periode masa lalu. Setelah Ida meninggal cerita berjalan secara sorot
balik yakni sejak Ida remaja hingga Ida kawin dengan Sumarto, bahkan ditarik ke
belakang lagi dengan masa lalu Permana ketika masih bekerja hingga
diberhentikan dari pekerjaan.
3.
Unsur Sosial
Persoalan pokok KP adalah dimensi social keagamaan
khususnya benturan sosial dalam kehidupan antarumat beragama. Tokoh-tokohnya
berlainan agama karena itu mudah dimengertijika latar social dalam KP lebih terasa menonjol. Transformasi
social budaya dalam masyarakat kita yang sedang berlangsung dilukiskan dalam KP. Dalam hal ini Permana, Salehah dan
Ida yang tidak memilika prinsp hidup terutama keyakinan atau iman yang teguh
mengalami keterombang-ambing dalam menghadapi tantangan hidup. Akibatnya,
mereka mengalami penderitaan beruntun, baik yang berakibat pada terjadinya
perang batin dalam diri tokoh maupun timbulnya benturan social dalam masyarakat
linkungannya.
BAB
IV
DIMENSI
SOSIAL KEAGAMAAN DALAM NOVEL KELUARGA PERMANA
1. DIMENSI
SOSIAL KEAGAMAAN DALAM KELUARGA PERMANA
Didalam novel Keluarga Permana para
pengamat sosial keagamaan di Indonesia yang membaca KP dan juga membaca Pedoaman
Dasar Kerukunan Hidup Beragama (Departemen Agama, 1979), tidak sulit
mengasosiasikan keduanya. Pedoman itu berisi pokok-pokok kebijaksanaan RI
mengenai kerukunan hidup umat beragama yakni: (1) Kerukunan intern umat
beragama (2) Kerukunan antar umat beragama (3) Kerukunan antar umat beragama
dengan pemerintah.
Masalah sosial keagamaan khususnya
perpindahan agama merupakan permasalahan yang tampak dominan dalam KP dengan latar belakang sosial ekonomi, yang
menimbulkan ketegangan dan konflik-konflik sosial yang melanda keluarga,
kelompok masyarakat bahkan umat beragama tertentu.
1. Perpindahan
Agama sebagai Sumber Konflik Sosial
Masalah perpindahan agama merupakan masalah
besar dalam masyarakat Indonesia yang religious, kolektif dan komunal sifatnya
( Ratuperwiranegara, dalam Departemen Agama, 1979: 16). Lebih-lebih jika
perpindahan agama dinilai oleh lingkungannya sebagai sesuatu yang tidak wajar,
karena bujukan, tipuan, pemberian material, cara-cara penyiaran agama lain, dan
sebagainya.
Dalam KP
masalah perpindahan agama disajikan
dengan baik melalui cerita yang memikat sebagai alat pengungkapannya, dengan
latar sosial yang menukik. Gagasan-gagasan mengenai perpindahan agama didalam KP tersebar dalam jalinan cerita, dan tampak
dominan mewarnai berbagai peristiwa.
Nilai-nilai dalam peristiwa perpindahan agama
dalam KP dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagian berikut ini:
a. Perkawinan
Campuran Islam-Katolik
Masalah pertama yang mendapat sorotan tajam
dalam KP adalah perkawinan campuran
antara gadis islam dengan pemuda Katolik. Bagaimana dan dengan alasan apa pun
perkawinan campuran, didalam KP antara
keluaraga Islam dengan Katolik, bahkan mempelai perempuan (Ida) mengalami
perpindahan agama dari islam ke katolik, dalam masyarakat Indonesia yang
dikenal religius ternyata cenderung menimbulkan berbagai ketegangan dan konflik
sosial.
Nilai yang paling menarik dalam peristiwa
perkawinan campuran pada KP antara lain, bahwa terlepas dari pemaksaan hak
kebebasan beragama oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, ternyata KP begitu cermat menyajikan persoalan
lain diseputar perpindahan agama lain.
b. Upacara
Pembaptisan
Didalam cerita KP perpindahan agama secara formal ditandai dengan upacara
pembaptisan di gereja dilakukan karena adanya tekanan dari sang kekasih, calon
suaminya. Yang menarik dalam peristiwa itu adalah timbulnya konflik batin yang
menggelisahkan orang yang bersangkutan, meskipun ia mencoba untuk melawanya.
Dengan berbagai gambaran konflik batin para
tokoh dalam cerita KP, tampaklah
bahwa KP bukan hanya menyuguhkan
konflik sosial keagamaan ditengah masyarakat. Lebih dari itu KP juga menyajikan konflik batin yang
berdimensi religius atau perasaan keagamaan.
c. Upacara
Pemakaman Jenazah yang Meresahkan
Suatu nilai sosial keagamaan yang juga
menarik diungkapkan dari KP yang
berkaitan dengan masalah perpindahan agama adalah konflik sosial dan konflik
batin para tokoh yang terjadi di sekitar upacara pemakaman jenazah. Nilai yang
menarik dalam cerita KP adalah upacar pemakaman jenazah yang
dilaksanakan secara katolik yang berlangsung di tengah keluarga dan masyarakat
muslim.
Efek atau dampak dari perpindahan agama
ternyata tidak kecil. Perpindahan agama menimbulkan konflik batin yang dasyat
bagi yang bersangkutan dan orang tuanya, juga sanak saudara, serta yang lebih
berbahaya peristiwa itu dapat mengundang konflik sosial dalam masyarakat
lingkungannya.
2. Pengembangan
Agama pada Umat Beragama
Dimensi sosial keagamaan yang bertalian erat
dengan perpindahan agama adalah pengembangan agama pada umat beragama, atau
penyebaran agama dengan sasaran umat beragama. Dalam KP pengembangan agama pada umat beragama digambarkan dengan adanya
tekanan jika bukan paksaan, melalui perkawinan. Pengembangan agama pada umat
beragama akan menimbulkan gejolak dan benturan-benturan sosial karena dapat
menyinggung perasaan keagamaan masyarakat lingkungannya (Departemen Agama,
1983/1984: 37).
Ratuperwiranegara (1979:15) menegaskan, bahwa
pembinaan jiwa keagamaan pada umumnya merupakan warisan dari kehidupan
lingkungan sosial. Jiwa keagamaan seseorang pada umumnya tidaklah lahir dari
kesadaran objektif atas dasar pilihan dalam arti polos, melainkan didorong oleh
kesadaran subjektif.
Melihat peristiwa cerita dan latar
berlangsungnya cerita didalam KP adalah pada sekitar separoh kedua decade
1960-an hingga paroh pertama 1970-an, serta lahirnya KP pada paroh pertama decade 1970-an, maka dapat diduga kondisi
sosial-budaya Indonesia masa-masa itu yang melatarbelakangi lahirnya KP.
3. Krisis
Ketakwaan sebagai Sumber Masalah Sosial
Nilai yang tak kalah pentingnya dalam KP, adalah krisis ketakwaan sebagai
sumber terjadinya masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Kurangnya
penghayatan agama pada para tokoh, menimbulkan berbagai masalah sosial dalam
proses dan interaksi sosial-nya. Lebih tepatnya, adanya krisis ketakwaan pada
para tokoh terutama Permana, Ida, dan Sumarto, menyebabkan terjadinya berbagai
perilaku yang melanggar hokum, nilai moral dan agama.
Berikut akan dikemukakan perilaku menyimpang
yang merupakan maslah sosial sebagai gejala adanya krisis ketakwaan itu.
a. Korupsi
dan Memperkaya Diri
Masalah pertama yang disoroti KP kaitanya dengan adanya gejala krisis
ketakwaan adalah korupsi. Pada karya sastra umumnya dan juga novel-novel
Ramadhan selain KP, korupsi disoroti
sebagi suatu perbuatan criminal dan penyakit masyarakat terutama yang melanda
pera pejuang revolusi yang merupakan tokoh atau pemuka masyarakat terhormat.
Dalam KP
tidak demikian halnya, selain mengemukakan tokoh Permana yang menjadi
“korban” adanya perbuatan korupsi orang besar atasanya, korupsi dan masaah
sosial lainya berperan sebagai latar cerita dan merupakan salah satu bentuk
perilaku tokoh yang tidak memegang agama sebagai pedoman hidupnya.
Korupsi dalam KP dilukiskan bukan
semata-mata karena adanya kekurangan atau kelemahan ekonomi, melainkan sudah
menjadi semacam budaya yang umum. Tindak korupsi sebenarnya tidak terlepas dari
mental agama pelakunya. Jika seseorang memiliki mental agama yang kuat, dia
tidak akan tergiur oleh gemerlapnya godaan materi duniawi yang dalam agama
dipandang sebagai tipuan dan perhiasan semu (Q.S. al-Hadid: 20).
b. Penyalahgunaan
Jabatan
Bentuk lain dari gejala krisis ketakwaan para
tokoh adalah terjadinya penyalahgunaan
jabatan atau kekuasaan. Implikasinya antara lain adanya penyelewengan hukum.
Didalam cerita KP korupsi digunakan sebagai latar dan pendukung
terhadap gagasan lain yakni adanya penyalahgunaan jabatan ataupun penyelewengan
hokum.
Bentuk-bentuk ketidakadilan dalam pelaksanaan
hokum akibatnya adanya kolusi antara penegak hokum dengan pelanggar hokum
tersebut, merupakan bentuk-bentuk ketidakberdayaan oramh-orang kecil menghadapi
orang besar atau pejabat yang menyalahgunakan kekuasaanya.
Apa yang dialami Permana dalam menanggapi
keadaan yang menimpanya didalam ceriata KP Permana dilukiskan merasa kecewa
berat, putus asa dan cemas, lalu bertindak kejam kepada anak dan istrinya,
merupakan simbolisasi orang yang imannya kurang mendalam.
c. Dekadensi
Moral Remaja dan Kawin Paksa Versi Modern
Nilai lain dari krisis ketakwaan para tokoh
adalah adanya gejala dekandesi moral dan kawin ‘paksa’ versi modern dikalangan
remaja. Dalam KP masalah itu
diungkapkan secara ironis. Ironis adalah mencemooh seseorang atau sesuatu
dengan cara memutarbalikkan sesuatu dengan keadaan sebenarnya.
Dengan cara ironis KP menyoroti para remaja
terutama kaum terpelajar dengan jalinan cerita yang menarik. Kaum pelajar yang
berperan sebagai penyangga utama nilai-nilai moral agama dan etik justru
ditunjukkan sering berperan terbalik. Terkait dengan dekandensi moral sebagai
gejala adanya krisis ketakwaan para tokoh, suatu hal baru dalam KP adalah adanya kasus kawin paksa
diakalangan masyarakat modern.
Dekandesi moral remaja dan kasus kawin
‘paksa’ jelas disebabkan oleh makin longgarnya nilai moral agama dan etik
sosial didalam kehidupan masyarakat
sebagai akibat adanya krisis keimanan dikalangan mereka. Longgarnya
nilai-nilai atau bergesernya nilai-nilai moral agama yang dulu dijunjung tinggi
itu sebagai akibat adanya krisis transformasi sosial budaya yang memungkinkan
persentuhan kebudayaan, antara nilai budaya nasional yang berdimensi religius
dengan nilai-nilai asing yang cenderung sekular.
4. Zina
dan Aborsi: Fenomena Pelanggaran Etika Sosial dan Agama
Gagasan dalam KP terlihat dalam peristiwa perzinahan dan aborsi. Dalam KP aborsi dilakukan karena adanya
hubungan pranikah, meskipun dalam realitas sosial aborsi sering dilakukan
wanita bersuami. Yang lebih mengalami tekanan batin karena merasa aib akan
mencoreng keluarga akibat perbuatan zina itu adalah orang tua perempuan yang
hamil.
Dalam KP
keduanya ditempuh, pertama, atas
inisiatif orangtuanya, kandungan Ida diaborsi karena orang tuanya tidak
merestui Ida kawin dengan pemuda katollik Sumarto, disamping itu untuk
menghilangkan aib keluarga.
5. Peran
Agama dalam Rumah Tangga dan Perilaku Anak
Agama memliki peran besar didalam kehidupan
rumah tangga dan membentuk perilaku anak. Seperti diketahui, unsur terpenting
yang menjadi pengendali dan penentramdalam kepribadian manusia adalah agama.
Oleh karena itu, moral, kepribadian, dan kesehatan jiwa tidak dapat dipisahkan
dari agama (Daradjat, 1993: 39). Dalam KP,
gagalnya pendidikan agama dalam keluarga disoroti dengan tajam lewat
Permana dan Saleha dan Ida.
Agama,yang semestinya ditanamkan orang tua
pada anak sejak masih kecil guna membentuk kepribadian dan mental anak yang agamis,
agar ketaqwaan dalam seluruh gerak hidupnya tercermin, tidak dilakukan oleh
Permana dan Saleha. Ada dua konsep yang berbeda
sekali bahkan bertolak belakang mengenai manusia antara Katolik/Kristen
dengan Islam.
Pertama,
ucapan Pastor Murdiono, bahwa “tak ada yang tidak berdosa” dapat dihubungkan
dengan konsep dosa warisan dalam agama Kristen/ Katolik. Dalam konsep
Kristen/Katolik semua manusia yang lahir di dunia ini sudah membawa dos
warisan. Karenanya, siapa yang ingin selamat dan memperoleh kedamaian di
Kerajaan Tuhan kelak, harus mempercayai Kristus sebagai juru selamat, Sang
penebus dosa.
Kedua, ucapan Mang Ibrahim, “Ini
kesalahan orang tuanya, kesalahan orang tuanya”, membawa pengertian bahwa
setiap manusia lahir dalam keadaan suci, bersih dari dosa. Ini berasosiasi
dengan konsep Islam mengenai manusia, bahwa manusia itu lahir dalam keadaan fitrah,
suci bersih, orang tuannya yang membuat baik atau buruk, beriman atau kafir,
Islam atau Nasrani, dan seterusnya (H.R. Imam Bukhari).
Efek yang mencolok dari sikap dan salah dalam
menghadapi cobaan hidup yang timbulnya
dis-harmoni dalam rumah tangga. Disharmoni rumah tangga dalam arti
ketidakselarasan, kejanggalan dalam rumah tangga (Poerwadarminta, 1986: 254).
Fenomena dalam cerita KP menunjukkan betapa agama dalam keluarga Permana kurang mendapat
perhatian dalam pendidikan dan pembentukkan kepribadian anak. Akibatnya,
berbagai peristiwa dan konflik yang timbul, baik konflik batin para tokohnya
maupun konflik sosial lingkungannya.
6. Iman
sebagai Pengendali Diri
Dimensi sosial keagamaan yang substansial
sifatnya yakni iman dikomunikasikan dalam KP.
Nilai ini berkaitan dengan ketegaran dan ketenangan seseorang dalam mengahdapi
berbagai problema kehidupan, karena hidup manusia memang penuh cobaan maupun
yang menyenangkan maupun cobaan yang menyedihkan (Q.S. al-Ambiya’: 35;Q.S. al-Baqarah: 155; QS. at- Taghabun: 15).
Hal ini disajikan antara lain melalui tokoh
Permana. Setelah diberhentikan dari pekerjaan kemudian menganggur, Permana yang
imannya jauh dari mendalam itu tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga dia
goncang dan hidupnya terombang-ambing oleh badai kehidupan yang datang
bertubi-tubi, akibatnya anak dan Istrinya menjadi korban. Nilai yang dapat
diambil dari kejadian ini adalah Permana
salah dalam menyikapai cobaan hidup atau keadaanya, membuat dirinya yang
berstatus sebagai kepala keluarga merasa kehilangan harga diri, sehingga
perasaan rendah diri timbul menderanya.
7. Agama
sebagai Pedoman Meraih Kebahagiaan
Nilai lain dalam KP yang menarik adalah
pentingnya agama dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini Taqwa menjadi inti
ajaran Islam, Permanabelum mendalam sehingga agama belum tercermin dalam segala
aspek hidupnya. Taqwa didalam Islam dikenal sebagai landasan utama
segala tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia
maupun diakhirat.
Taqwa menurut Hadikusuma (1980: 19-20)
berarti takut, maksudnya ialah meyakini bahwa Allah menguasai dan
menentukan perjalanan hidup dan nasib
manusia dengan sifat-Nya yang Maha Pengasih, tetapi juga dengan siksa-Nya yang
amat pedih bagi hamba-Nya yang berbuat kejahatan.
Taqwa pada hakikatnya terdiri atas iman dan
amal shalih (Q.S. Al-Baqarah : 177) dengan
rincian:
1) Iman:
kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab suci, dan Nabi/Rasul.
2) Amal
shalih:
a.
Kepada sesama
manusia dengan memberikan harta yang ia senangi akan harta itu kepada
kerabatnya, anak yatim piyatu, orang miskin dan musafir yang membutuhkan
pertolongan.
b.
Kepada Allah dengan mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, puasa, dan haji.
c.
Kepada diri sendiri dengan menepati janji
jjika ia berjanji, sabar dalam kesempitan, penderitaan, peperangan.
Selain masalah ingkar, dalam KP dapat ditemukan banyak sekali hal
lain seperti iman, dzikir, tawakkal, dan
lain-lain yang penting artinya sebagai pedoman hidup manusia. Gagasan-gagasan
tersebut tersebar diantara jalinan cerita KP,
dan bagi pembaca yang memiliki wawasan keagamaan yang cukup tentu akan
dapat melihat konsep atau kegagasan.
Berdasarkan analisis makna KP terlihat
bahwa yang terkait dengan dimensi sosial keagamaan merupakan pokok persoalan
atau gagasan utama KP. Dimensi sosial
keagamaan itu tampak dominan dan dikembangkan sehingga terlihat sebagai
konfigurasi gagasan yang menyebar di sepanjang jalan cerita. Dalam hal ini
perpindahan agama dengan konflik-konflik sosial yang timbul kerenanya merupakan
pilar utama pada banguna KP.
Sebagai dampak atau efek dari perpindahan
agama itu, timbullah berbagai konflik sosial dan kejiwaan pada Ida dan
Keluarganya. Dampak laim perpindahan
agama adalah terjadinya konflik batin yang dasyat bagi yang bersangkutan
(Ida). Dari struktur peristiwa perpindahan agama, terlihat bahwa kondisi sosial
ekonomi seperti korupsi, penyalahgunaan jabatan, dekadensi moral, dan
disharmoni rumah tangga lebih merupakan latar cerita.
2. REALITAS
SOSIAL BUDAYA INDONESIA 1970-AN DAN KELUARGA PERMANA
T.S. Eliot menyatakan, bahwa keagungan cipta
sastra hanya dapat ditangkap secara utuh
jika kita ikut sertakan pula unsur-unsur metasastra seperti filsafat, agama,
politik, sosiologi, dan sebagainya (dalam Ahar,1975:134). Karya sastra ciptaan
sastrawan besar sering melukiskan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia.
Bahkan mungkin merupakan salah satu barometer sosiologi yang efektif dalam
mengukur taanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial (Damono, 1979:
13).
Bertolak pada pemikiran itu, KP sebagai produk masyarakat yang
mencerminkan situasi dan cita-cita masyarakat pada suatu zaman. Oleh karena itu
membicarakan dimensi sosial keagamaan KP tidak
dapat dilepaskan dari realitas sosial budaya Indonesia pada paroh kedua decade
1960-an hingga paroh pertama decade 1970-an, yang merupakan latar waktu dan peristiwa dalam KP.
Salah satu hal yang kongkret sebagai efek
modernisasi industrialisasi adalah timbulnya korupsi. Korupsi hadir bagai anak
kandung modernisasi, ketika suatu bangsa sedang memacu diri melepaskan alam
tradisional memasuki mekanisme kehidupan modern. Menurut Huntington
setidak-tidaknya ada tiga penyebab utama, mengapa modernisasi menyuburkan korupsi.
1. Modernisasi
menawarkan nilai-nilai baru yang lebih rasional ketimbang nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tradisional.
2. Dengan
dibukanya sector industri, salah satu elemen pokok modernisasi dan ditambah
masuknya modal asing, maka muncullah sumber-sumber kekayaan baru. Terciptalah
“jembatan emas” antara pemilik kekuasaan politik.
3. Modernisasi
melahirkan korupsi karena terjadinya perubahan sistem politik, terutama Negara
yang baru saja merdeka.
Kehidupan beragama yang ideal dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang pluralis ini, yakni dalam makna statis adanya
kerukunan antar umat beragama, dan secara dinamis dengan adanya amal bersama
sebagai pernyataan fungsionalisasi kehidupan beragama ditengah masyarakat yang
tengah membangun (Saidi, 1984: 67).
Ada beberapa teoritis untuk menciptakan
kerukunan hidup umat beragama yakni alternatif-alternatif.
1. Sinkretisme, yaitu paham yang
memadukan beberapa kepercayaan yang sebenarnya bertentangan.
2. Sintesis, yaitu mengambil
unsur-unsur yang ada persamaannya dari macam-macam agama, untuk dijadikan agama
baru.
3. Converting, yaitu mengubah
kepercayaan dan agama masyarakat menjadi agam dan kepercayaan yang dianut oleh
penguasa.
4. Henotheisme, yaitu menetapkan adanya Tuhan/Dewa tertinggi yang dianggap resmi, disamping adanya
agama dan Tuhan-tuhan lain yang subordinatif kepada Tuhan/agama itu.
5. Menetapkan
suatu agama sebagai agama resi Negara, dengan tetap memberikan kebebasan kepada
setiap penduduk untuk menganut agamanya
masing-masing.
6. Agree in disagreement atau kesepakatan dalam
perbedaan.
Gejala-gejala negatif banyak mendapat
perhatian para petinggi Negara yang dipandang sebagai tanda-tanda peringatan
dini. Tanda-tanda peringatan dini adalah:
1.
Adanya perorangan atau kelompok yang
mengajarkan kepatuhan ekslusif kepada Iman/Ratu Adil/Herucokro, dan semacamnya,
yang menganggap keliru semua pemimpin dan semua orang yang tidak mengikuti
pemimpin yang mengaku sebagai juru selamat baru.
2.
Adanya kegiatan mengajarkan atau menyebarkan
ajaran sesuatu agama, yang dianggap oleh penganut agama yang bersangkutan
sebagai pemutarbalikan terhadap ajaran itu.
3.
Polemik teologis yang mempergunakan kata-kata
kata-kata penghinaan terhadap suatu agama lain yang dilakukan ditempat umum.
4.
Issue atau berita yang tersebar dalam
masyarakat tentang tindak penghinaan oleh oknum dari suatu agama terhadap agama
lainnya, terutama mengenai sesuatu yang diyakini sebagai sesuatu yang suci atau
larangan pokok menurut agama yang bersangkutan.
5.
Adanya issue tentang kegiatan penyiran agama
yang tidak wajar, yang menjadikan agama lain menjadi sasaran.
6.
Adanya ekslusivisme keagamaan yang didasarkan
atas kelompok etnis rasial (Departemen Agama, 1984/1985: 25-26)
Realitas dalam sastra tidak harus sama dengan
realitas yang ada dalam kehidupan nyata. Realitas dalam sastra adalah relitas
fiktif imajinatif sebagai dunia yang dibentuk oleh pengarang sebagai
tanggapannya tehadap kehidupan nyata. Dengan demikian, realitas dalam KP adalah simbolisasi dari realitas
sosial budaya Indonesia pada decade 1970-an.
Berdasarkan analisis makna dimensi sosial
keagamaan dalam KP yang dipaparkan,
tampak aspek sosial muncul dalam berbagai peristiwa dan tersebar dalam jalinan
cerita, terkait dengan penghayatan keagamaan para tokohnya. Aspek sosial lebih
berperan sebagai latar cerita guna mendukung gagasan utama KP. Fenomena sosial yang diungkapkan dalam KP di dalam nya terkandung
unsur keagamaan. Fakta dalam cerita memperkuat dugaan bahwa KP mengandung dimensi sosial keagamaan yang
penting untuk dikaji guna menambah kekayaan batin pembaca.
BAB
V
SIMPULAN
Berdasarkan analisis struktur novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. dan
analisis makna dimensi sosial keagamaan yang terkandung didalamnya, dapat
dikemukakan simpulan sebagai berikut.
Dari analisis struktur bangunan novel Keluarga Permana dengan pendekatan
Strukturalisme dapat disimpulkan bahwa novel Keluarga Permana memiliki unsur-unsur yang secara fungsional saling
mendukung satu dengan lainya. Struktur
naratif terjalin secara dinamis baik secara tekstual maupun kronologis
dengan bentuk sorot balik sehingga mendukung gagasan utama pada novel ini.
Penokohan dalam novel Keluarga Permana menunjukkan
karakter yang beragam dan logis sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing
dalam mendukung gagasan utama. Latar cerita yang meliputi latar waktu, tempat
dan sosial juga turut mendukung penokohan dan gagasan utama novel ini yakni
dimensi sosial keagamaan. Kebulatan unsur-unsur tersebut membentuk keutuhan
wujud bangunan novel Keluarga Permana. Dengan demikian, unsur-unsur tersebut
membentuk struktur cerita yang utuh dalam jalinan cerita yang menarik guna
mendukung totalitas makna yang terkandung didalamnya.
Dari analisis makna dengan pendekatan
Semiotik dan Interteks dapat disimpulkan bahwa
Keluarga Permana mengungkapkan dimensi sosial keagamaan sebagai
gagasan utama dalam alur cerita yang kompleks namun tetap lancar. Makna dimensi
sosial keagamaan dalam KP adalah perpindahan agama yang dapat
menimbulkan berbagai konflik sosial. Perpindahan agama seseorang dari satu
agama ke agama lain yang dapat memicu konflik sosial dalam lingkungan
masyarakat dan multiagama karena hal itu dapat menyinggung perasaan keagamaan
kelompok dan lingkungannya. Lebih-lebih jika perpindahan agama itu dinilai oleh
lingkungan masyarakatnya sebagai sesuatu yang tidak wajar, yakni melalui
perkawinan yang “dipaksakan” dengan adanya ‘tekanan’ dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan yang berposisi lemah (sudah hamil akibat hubungan
pranikah/perzinaan). Kondisi demikian dapat menimbulkan terganggunya kerukunan
hidup antar umat beragama. Bahkan, hal itu dapat memecah kesatuan dan persatuan
bangsa yang akhir-akhir ini sedang mengalami krisis nasionalisme sebagai salah
satu akibat adanya krisis politik, ekonomi, dan krisis kewibawaan pemerintah.
Dalam peristiwa perpindahan agama itu,
terlihat adanya usaha pengembangan agama (dakwah) pada umat yang sudah beragama
yang tidak dapat dibenarkan. Pengembangan agama pada umat yang sudah beragama
demikian bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di samping
itu bertentangan pula pada ajaran agama itu sendiri. Lebih-lebih pengembangan
agama tersebut disertai dengan “pemaksaan terselubung” melalui perkawinan
dengan gadis yang berada pada posisi lemah (sudah hamil akibat hubungan seks
pranikah/perzinaan dengan pemuda yang berbeda agama).
Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia
dalam meraih kebahagiaan, merupakan gagasan kedua dalam KP. Hanya dengan
takwa, yang merupakan inti ajaran agama, yang hakikatnya berupa iman dan amal
shalih, manusia akan mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Dengan takwa kepada
Tuhan dalam makna yang hakiki pula manusia akan menghadapi berbagai tantangan
hidup dan godaan hawa nafsu serta dapat bersikap sabar dan tabah dalam
menghadapi berbagai ujian hidup dengan dzikir dan tawakkal, yakni
ingat dan berserah diri kepada-Nya.
Gagasan ketiga yang juga lebih berperan
sebagai latar adalah krisis ketakwaan sebagai sumber terjadinya masalah sosial.
Adanya krisis ketakwaan di kalangan masyarakat merupakan penyebab timbulnya
berbagai masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Implikasi dari gagasan ini
antara lain bahwa timbulnya tindak korupsi dan memperkaya diri, penyalahgunaan
jabatan atau kekuasaan, disharmoni rumah tangga, dan dekadensi moral serta
“kawin paksa” versi modern, lebih disebabkan oleh adanya krisis ketakwaan pada
masyarakat, meskipun faktor sosial ekonomi juga turut mendukung terjadinya hal
itu.
Dari kajian Interteks dapat disimpulkan bahwa
makna novel Keluarga Permana sebagai karya transformasi hanya dapat dipahami
secara utuh bila dikaitkan dengan hipogramnya yakni karya Ramadhan sebelumnya,
yakni novel Kemelut Hidup, lalu Pedoman Dasar Kerukunan Hidup
Beragama, teks Al-Qur’an dan al-Hadist, serta latar sosial budaya Indonesia
pada dekade 1970-an.
1 komentar:
assalamualaikum..
maaf mb.. beli buku itu dimana ya?
Posting Komentar